Siti Walidah (Nyai Ahmad Dahlan)
Nyai Ahmad Dahlan berperangai lemah-lembut, peramah, sederhana, tenang, tekun, pandai bergaul dengan siapa saja. Ia dikenal sangat dermawan, tidak pernah ada list-sumbangan yang lewat kepadanya, yang tidak diisinya.
Betapa mencengangkan orang banyak yang menghadiri Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, kota Kebangsaan Indonesia pada tahun 1926 dengan munculnya seorang wanita yang sudah setengah tua, dapat memimpin kongres itu. Dalam sidang yang hanya untuk kaum wanita itu bertempat di Gedung Bioskop Kranggan. Gedung itu dipenuhi wanita-wanita berkerudung putih. Di gedung pertemuan itu hanya ada beberapa kursi untuk pejabat Pemerintah dan pers di dekat mimbar. Tanpa mengurangi makna pidato-pidato yang disampaikan oleh ibu-ibu dan gadis-gadis, perhatian sebagian hadirin tertuju kepada pimpinan sidang besar itu. Para wartawan sangat intens meliput peristiwa itu dan terbukti dengan pemuatan beritanya dalam publikasi mereka.
Siti Walidah lahir di Kampung Kauman pada tahun 1872 M, putri dari H. Muhammad Fadhil bin Kiai Penghulu Haji Ibrahim, penghulu Kraton Yogyakarta. Ibunya dikenal dengan nama Nyai Mas dari Kauman juga. Siti Walidah adalah anak keempat dari tujuh bersaudara, yaitu Kiai Lurah Nur, Haji Ja’fat, Siti Munjiyah, Siti Walidah, Haji Dawud, Kiai Haji Ibrahim, dan Kiai Haji Zaini. Keluarga Siti Walidah juga dikenal sebagai pengusaha/pedagang. Siti Walidah menikah dengan Muhammad Darwis (KH Ahmad Dahlan) pada tahun 1889 di usia 17 tahun. Pernikahan itu dikaruniai enam putra-putri, yaitu Djohanah (lahir 1890), Siradj Dahlan (1898-1948), Siti Busyro Islam (1903-1936), Siti Aisyah Hilal (1905-1968), Muhammad Djumhan/Erfan Dahlan (1907-1967) dan Siti Zuharoh Masykur (1908-1967). Setelah menikah dengan KHA Dahlan, Siti Walidah kemudian dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan.
Sebagaimana anak-anak perempuan di Kauman, Siti Walidah hanya mendapatkan ilmu agama tanpa mengenyam pendidikan formal. Sesuai keadaan masyarakat di kampung santri Kauman waktu itu, yang terkenal dengan kepatuhannya dalam menjalankan Agama Islam dan ketekunannya dalam beribadah, apalagi beliau adalah puteri seorang ulama, Kiyai Fadhil, yang disegani oleh masyarakat, lebih-lebih sebagai pejabat Penghulu Kraton Dalem Ngayogyakarta Hadiningrat. Nyai Ahmad Dahlan pada waktu remajanya adalah puteri pingitan, yang tidak bisa bebas lepas dalam pergaulannya dan tidak belajar di sekolah. Tetapi sebagaimana telah disebutkan, beliau mendapatkan pendidikan sekedar mengaji Al-Qur’an dan belajar hal-hal pokok Agama terutama soal praktik ibadah, yang sudah dipandang memadai kala itu.
Kecakapan dan ketertarikan Siti Walidah terhadap ilmu agama sudah terlihat sejak muda, dia sangat aktif mengikuti pengajian yang diselenggarakan oleh ayahnya. Sebagai seorang anak perempuan yang lahir di kalangan santri, Siti Walidah selalu diberi pemahaman dari orang tuanya tentang hakekat seorang perempuan. Inilah yang menjadi landasan kuat dan warna gerakan ‘Aisyiyah, pemikiran dan gerakan kemajuan yang dikembangkannya tetap berpedoman pada kodrat perempuan sebagai istri dan ibu. Dalam pernikahannya itu, Siti Walidah bisa menjadi partner dalam perjuangan kemasyarakatan yang dijalaninya bersama suaminya. Beliau mengikuti segala yang diajarkan atau ditablighkan oleh suaminya, terutama yang dikhususkan bagi kaum wanita. Kemudian beliau mengikuti jejak-langkah KHA Dahlan dalam menggerakkan Muhammadiyah dan menambah ilmu pengalaman dan amal kebaikannya.
Nyai Ahmad Dahlan termasuk dalam kelompok perempuan pertama yang berjuang dalam pergerakan perempuan. Nyai Ahmad Dahlan tercatat dalam sejarah ketika mendirikan organisasi “Sopo Tresno” pada tahun 1914, sebuah pergerakan perempuan pertama di Indonesia yang dipimpin oleh Nyai Ahmad Dahlan, dibawah bimbingan Kyai Dahlan secara langsung.
Perjuangan Nyai Ahmad Dahlan dalam mengangkat harkat perempuan tidaklah mudah, karena beliau berhadapan dengan generasi tua yang masih memegang prinsip “wanita adalah konco wingking” (teman di ‘belakang’, di dalam rumah). Tentu saja hal ini banyak mendapat tantangan, namun Nyai Ahmad Dahlan tetap teguh dalam mengembangkan ‘Aisyiyah dan kaum perempuan. Nyai Dahlan telah ikut menanam benih dan menjadi pelopor kaum wanita untuk meninggalkan keyakinan dan kebiasaan yang kolot dengan melakukan pergerakan untuk maju dan berjuang supaya tidak tertinggal dari kaum laki-laki. Besar pengorbanan beliau waktu itu, jika mengingat akan rintangan dan celaan dari pihak “kaum tua” yang menganggap bahwa sepak terjang beliau sebagai ‘melanggar kesusilaan dan keutamaan kaum wanita’.
Kecerdasan pemikiran Nyai Ahmad Dahlan tidak lepas dari pergaulannya yang luas dengan tokoh-tokoh yang biasa bergaul dengan suaminya seperti Jendral Sudirman, Bung Tomo, Bung Karno, K.H. Mas Mansyur, dimana beliau tidak pernah merasa rendah diri bahkan banyak memberikan nasehat-nasehat kepada mereka-mereka.
Diantara pemikiran Nyai Ahmad Dahlan yang sangat fenomenal adalah penentangan beliau terhadap praktik-praktik kawin paksa dan kawin di usia muda, sebagaimana biasa terjadi di masyarakat. Pemikiran ini pada awalnya ditentang, namun pengalaman beliau terhadap anak-anak suaminya yang berasal dari istri-istri lainnya yang relatif sangat muda ketika dinikahi dan akhirnya tidak memiliki konsep matang dalam mendidik anak, menjadikan Nyai Ahmad Dahlan sangat menentang konsep-konsep tersebut.
Setelah ‘Aisyiyah resmi berdiri pada tanggal 22 April 1917, maka aktivitas perempuan semakin terwadahi sebagaimana keinginan KHA Dahlan untuk bisa memajukan kaum perempuan. Pada masa awal terbentuknya, ‘Aisyiyah dipimpin oleh Siti Bariyah (ketua), Siti Badilah (penulis), Aminah Harawi (bendahara) dengan anggota Ny. Abdullah, Fathmah Wasit, Siti Dalalah, Siti Wadingah, Siti Dawimah dan Siti Busyro (putri KHA Dahlan). Inilah kehebatan KHA Dahlan, beliau tidak menunjuk dan menempatkan Nyai Ahmad Dahlan untuk memimpin ‘Aisyiyah, tetapi beliau memilih orang yang dianggap lebih mumpuni, bukan memilih orang terdekatnya. Nyai Ahmad Dahlan baru memimpin ‘Aisyiyah setelah beberapa waktu berjalan, yakni pada tahun 1921-1926 dan tahun 1930.
Pemikiran Nyai Ahmad Dahlan dalam soal pendidikan dikenal dengan konsep “catur pusat”. Yakni, suatu formula pendidikan yang menyatukan empat komponen: pendidikan di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat dan pendidikan di lingkungan ibadah. Nyai Ahmad Dahlan juga memprakarsai pendirian pondok asrama bagi siswa perempuan untuk menyempurnakan formula pendidikannya. Asrama ini didirikan di rumahnya pada tahun 1918 dan berkembang cukup pesat dengan menampung banyak murid dari Kauman maupun luar kota. Di asrama ini, Nyai Ahmad Dahlan memberikan pendidikan keagamaan dan ketrampilan termasuk ketrampilan berpidato dan pendidikan keputrian.
Salah satu pesan Nyai Ahmad Dahlan kepada kader Muhammadiyah ketika beliau mulai sakit-sakitan adalah: “Saya titipkan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah kepadamu sebagaimana KHA Dahlan menitipkannya. Menitipkan berarti melanjutkan perjuangan ummat Islam Indonesia ke arah perbaikan hidup bangsa Indonesia yang berdasarkan cita-cita luhur mencapai kemerdekaan”. Basis moral Nyai Ahmad Dahlan tercermin dalam pernyataan-pernyataan beliau yang selalu diulang-ulangnya yaitu: 1). Menolak peribahasa Jawa “wong wadon iku swarga nunut, nerakane katut wong lanang” (perempuan itu masuk surganya ikut suami, masuk nerakanya juga terikut suami); 2). Amar ma’ruf nahi munkar; dan 3). Sepi ing pamrih (bekerja tanpa pamrih). Sampai menjelang wafatnya, Nyai A. Dahlan tak pernah berhenti untuk terus berdaya upaya sekuat tenaga bekerja untuk kemaslahatan umum dengan memberikan petunjuk dan nasehat-nasehat kepada siapa saja yang dihadapinya.
Kebesaran Nyai Ahmad Dahlan nampak ketika beliau sakit dan kemudian wafat pada tanggal 31 Mei 1946. Tidak hanya warga Muhammadiyah atau kaum muslimin dan muslimat saja yang datang melayat, namun semua kalangan melepas kepergian tokoh perempuan yang luar biasa itu, seorang Ibu Pemimpin yang berjasa, Ibu Pejuang yang tekun dan Ibu Keluarga yang menjadi tokoh teladan.
Pada saat jenazah beliau dimakamkan di pemakaman belakang Mesjid Besar Kauman Yogyakarta, Pemerintah RI bertakziyah mengirim utusan, yakni Sekretaris Negara, Mr. A.G. Pringgodigdo. Mewakili Pemerintah RI, beliau memberikan penghormatan terakhir dengan pidatonya menyampaikan bela sungkawa kepada keluarga almarhum, Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah seluruhnya. Beliau berharap agar cita-cita dan amal yang telah dirintis dan ditanam itu, dipelihara baik-baik dan dilanjutkan serta dikembangkan sebagaimana mestinya.
Harian Kedaulatan Rakyat No. 215 yang terbit pada hari Sabtu Wage tanggal 1 Juni 1946, memuat berita tentang wafatnya Nyai A. Dahlan sebagai berikut: “Isteri KHA. Dahlan, Bapak dan pembangun pergerakan Muhammadiyah telah berpulang ke rahmatullah pada hari Jum’at tanggal 31 Mei 1946 jam: 1 (satu) siang di kediaman beliau Kauman Yogyakarta. Inna lillahi wa inna ilaihi radji’un. Pemakaman dilakukan pada sore harinya jam 17.00 WIB, di makam Kauman (belakang Mesjid Besar) Jogjakarta, sesudah disembahyangkan di Mesjid Besar Kauman Yogyakarta. Tampak hadir turut menyatakan berduka cita (layat) antara lain Tuan Mr. A.G. Pringgodigdo atas nama Presiden, K.H. M. Rasyidi Menteri Agama RI, pemimpin-pemimpin pergerakan dan orang-orang terkemuka lainnya”.** (wied)