Mohammad Amal

From WikiMu
Jump to navigation Jump to search
H. Mohammad Amal

H. Mohammad Amal, dilahirkan di Tobelo, pada tahun 1885, dari keluarga asli Maluku Utara. Ketika Mohammad Amal berusia 7 tahun, dia memasuki Sekolah Zending di Galela (1892). Setelah tamat dari Sekolah Zending, sejak tahun 1895 Mohammad Amal mulai belajar kepada guru-guru agama. Dalam usia 20 tahun, dia berangkat menjalankan ibadah haji ke Mekkah, dan kemudian bermukim di sana untuk belajar selama dua tahun (1905-1907).

Sejak kembali dari Mekkah, H Mohammad Amal tampil sebagai muballigh yang tidak kenal gentar dalam menyerukan agama Islam, menyaingi aktivitas missi para pendeta Kristen yang telah dirintis oleh pendeta Van Dyken sejak 1877. Ia mendirikan organisasi Persatuan Kaum Muda Islam Galela (PKMIG), dengan tujuan untuk mendidik pemuda Islam menjadi kader pembangun Islam. Selain itu, beliau juga mendidik anak-anak dengan menyelenggarakan pesantren.

Pada tahun 1907, jumlah penduduk muslim ada 10 persen, sedangkan umat Kristen ada sekitar 3 persen, dan lainnya masih kafir. Dari sekitar 20.000 penduduk Galela waktu itu, yang muslim ada 2.000-an orang, sedang umat Kristen hanya sekitar 600 atau 700 orang saja.

Pada tahun 1918 beliau diangkat menjadi Imam Distrik Galela, dengan tugas mengislamkan penduduk Galela. Sudah pasti, hal ini membuat para pendeta Kristen merasa tidak nyaman. Para pendeta tidak henti-hentinya berusaha menghalangi kegiatan muballigh ini. Oleh pemerintahan penjajah Belanda yang bekerjasama dengan pihak zending, H Mohammad Amal dilarang berdakwah keluar daerah Galela untuk beberapa tahun.

Meskipun blokade dilakukan oleh kaum Kristen, namun muballigh ini tidak kehilangan akal didalam menerobos blokade itu. Karena beliau sendiri dilarang, maka beliau mengirimkan khatib-khatibnya untuk melancarkan dakwah di luar Galela, masuk ke kampung-kampung meneruskan perjuangan beliau menyebarkan Islam sampai ke pelosok-pelosok. Dan taktik beliau ini sangat berhasil.

Melihat kemajuan dakwah Islam yang demikian pesat, rupanya beliau tidak tahan untuk tetap berdiam di kampung Galela. Pada tahun 1921, H. Mohammad Amal tampil sendiri untuk bertandang ke gelanggang memimpin kader-kadernya menerobos kampung-kampung yang sebenarnya tidak boleh didatangi. Dalam waktu yang singkat, cahaya Islam sudah menerangi 22 kampung dan pada tiap-tiap kampung itu sudah berhasil didirikan surau-surau. Pada tahun 1921 itu jumlah pemeluk Islam meningkat menjadi 60 persen.

Setelah surau-surau bertebaran di kampung-kampung, terpikir oleh H. Mohammad Amal untuk mendirikan masjid yang cukup besar di Galela. Untuk itu, beliau membuat rencana sebuah masjid dengan biaya sekitar 100.000 gulden. Berkat bantuan dari segenap umat Islam, pada tahun 1930 masjid itu sudah bisa berdiri dengan menelan biaya sebesar 12.000 gulden. Usaha yang gemilang ini, membuat perjuangannya itu dikenal dan dikenang di seluruh Maluku Utara.


Mendirikan Muhammadiyah Rupanya, angin kebangkitan Islam di Jawa yang dipelopori oleh Muhammadiyah di tahun 1912 sudah terdengar oleh H. Mohammad Amal. Pada bulan Mei 1928 beliau dengan resmi menyatakan berdirinya Muhammadiyah di Galela.

Dengan berdirinya Muhammadiyah, maka beliau mempunyai alat dakwah yang lebih kuat. Beliau sendirilah yang memimpin Muhammadiyah Galela sampai 10 tahun lamanya (1928-1938). Diantara teman-teman seperjuangan beliau sewaktu mendirikan Muhammadiyah adalah: 1) H Abdullah Tjan, yang menjadi imam masjid Tobelo. Ketika itu, beliau menjadi Ketua I Pengurus Muhammadiyah, 2) MS Saway, yang memimpin Muhammadiyah setelah merdeka (1945-1956), 3) Moh. Djamal (mubaligh berasal dari Pakistan yang pada tahun 1956 kembali ke Pakistan. Putra Moh Djamal, Faqir Muhjiddin yang saat itu tinggal di Tabelo menjadi Kepala KUA Tobelo dan Ketua Muhammadiyah Tobelo), 4) Umar Djama (Morotai), 5 Abdullah Djoge (pernah menjadi Camat Galela) dan 6) Djin Pola.

Setelah Muhammadiyah berdiri di Galela pada tahun 1928, tidak lama setelah itu, H. Abdullah Tjan, mendirikan Muhammadiyah di Tobelo (1930). Pada tahun 1936 Muhammadiyah sudah berdiri di Kota Ternate. Kegiatan Muhammadiyah ketika itu, lebih banyak diarahkan kepada bidang dakwah dan pendidikan. Pada tahun 1938, berhasil didirikan sebuah Madrasah Muhammadiyah dengan seorang guru yang dikirim dari PB Muhammadiyah, bernama Bachrun Sulthany. Bachrun Sulthany adalah muballigh Muhammadiyah dari Padang yang sudah beberapa lama bertugas di Sulawesi Selatan.

Pada tahun 1938, H. Mohammad Amal mendirikan organisasi para imam, dengan nama Imam Permusyawaratan Onderafdeling Tobelo (IPOT). IPOT ini dipelopori oleh empat imam, yaitu: Abdullah Tjan (Imam Tobelo), H. Mohammad Amal (Imam Galela), Amly Sidiq (Imam Kao) dan Umar Djama (Imam Morotai). Sebenarnya, beliau bermaksud mendirikan Imam Bond, tetapi karena tidak disetujui oleh Sultan Ternate, maka beliau membentuk imam permusyawaratan tersebut. Bagi beliau, yang penting ialah bagaimana dapat menggarap daerah Tobelo dan sekitarnya dalam soal-soal adat dan usaha pemurnian Islam.

Berdirinya IPOT ini mempunyai maksud untuk: 1) mengimbangi kegiatan zending yang selalu tidak fair dalam kerjanya, dan 2) membebaskan umat Islam dari adat istiadat yang tidak benar, kebodohan dan kekolotan berpikir. Setahun setelah berdiri, IPOT mengadakan Konferensi yang pertama. Konferensi diselenggarakan di Tobelo selama tiga hari tiga malam, diikuti oleh 200 peserta. Konferensi IPOT yang dipimpin langsung oleh H. Mohammad Amal itu, cukup menggetarkan hati para pendeta di Halmahera Utara, apalagi dalam konferensi yang dihadiri oleh utusan surau-surau dan kampung-kampung itu telah berhasil meletakkan landasan perjuangan, baik kedalam maupun keluar, seperti dengan membentuk Majelis Tarjih, dan sebagainya.

Dengan adanya Muhammadiyah dan IPOT yang terorganisir rapi, maka musuh-musuh Islam mulai kecut. Sehingga mereka tidak berani mengganggu kegiatan Islam. Apalagi jika dilihat para pimpinan Muhammadiyah dan IPOT seperti H Mohammad Amal dan H. Abdullah Tjan terkenal sebagai jago-jago debat yang cukup disegani oleh para Pendeta Kristen. Sejak saat itu, maka Pendeta Bocher segera mengeluarkan perintah yang melarang semua pengikut Kristen untuk mendengarkan tabligh-tabligh Islam. Seruan Pendeta Bocher itupun diikuti oleh pendeta-pendeta lain yang semuanya melarang pengikutnya untuk ikut mendengarkan tabligh-tabligh Islam, agar supaya tidak tertarik kepada Islam.

Dengan adanya IPOT yang juga diakui oleh Pemerintah Belanda dan Swapraja Ternate, maka selama empat tahun dakwah Islam berjalan lancar. Namun organisasi ini menjadi macet setelah tentara Jepang mendarat di Maluku.


Perjuangan Setelah Kemerdekaan Setelah kemerdekaan Indonesia di proklamirkan, perjuangan H. Mohammad Amal semakin meningkat. Kalau dahulu beliau hanya bergerak dibidang pendidikan dan kemasyarakatan, maka sejak kemerdekaan beliau mulai bergerak dibidang politik dengan memasuki Partai Indonesia (PI).

Sesudah kapitulasi tahun 1947, maka atas anjuran Hakim Syara’ Besar di Ternate, dan disetujui oleh Pemerintah Swapraja Ternate, H. Mohammad Amal diberi tugas mengendalikan Hakim Syara’ Morotai yang terdiri dari dua imam. Ketika badai demoralisasi tengah berkecamuk di Morotai sebagai akibat Perang Dunia II, maka beliau mengadakan tabligh ke dalam kamp-kamp tentara dan sipil di Morotai untuk memperbaiki akhlak dan menanamkan ajaran Islam di kalangan tentara. Kunjungan ke dalam asrama-asrama tentara itu, terpaksa beliau lakukan sendiri karena dua imam yang ada di Morotai tidak mampu mengatasinya. Usaha beliau berhasil dengan baik, sehingga di tengah-tengah lapisan masyarakat yang terdiri dari berbagai suku itu, beliau berhasil mendirikan sebuah masjid darurat di dalam Kamp NN GPM. Di masjid itulah, untuk pertama kalinya diadakan shalat Jum’at yang diikuti ribuan umat Islam dari berbagai suku. Sejak berhasilnya H. Mohammad Amal menembus benteng demoralisasi di Morotai itu, nama. H Mohammad Amal semakin dikenal sebagai pejuang Islam yang berani.

Ketika di Maluku Utara mulai terbentuk Pemerintahan NIT, H. Mohammad Amal diangkat menjadi Petua Suku, Sangadji dan Adviseur dalam hukum adat negeri, karena beliau termasuk ahli adat dan sejarah. Pada tahun 1948, beliau membangun dua masjid di Morotai dengan biaya 50.00 rupiah dan di Galela juga berhasil membangun sebuah masjid dengan biaya ratusan ribu rupiah.

Dalam kancah politik, beliau aktif di Partai Persatuan Indonesia yang dipimpin oleh Arnold Mononutu. Namun, pada tahun 1952 beliau kemudian mendirikan Partai Masyumi dan menjabat sebagai Ketua Majelis Syuro.

H. Mohammad Amal, tidak termasuk golongan tokoh yang ditempa oleh pendidikan yang tinggi. Beliau hanya belajar sampai kelas 3 saja. Tetapi kebesaran beliau terletak pada ketekunannya belajar sendiri. Beliau adalah seorang autodidak yang kuat membaca, baik buku-buku bahasa Arab maupun bahasa Indonesia. Bahkan beliau juga memahami bahasa Belanda. Buku-buku yang beliau baca, sebagian besar buku-buku yang diterbitkan Taman Pustaka Muhammadiyah dan buku-buku dari Persia. Selain tekun belajar sendiri, beliau juga sering mengadakan hubungan dengan pemimpin-pemimpin Islam di Jawa, seperti A. Hasan, K.H. Mas Mansur, Haji Agus Salim, H. Sulaiman Daeng Muntu, dan lain-lain.

Sebagai penggemar lektur, H. Mohammad Amal mempunyai jasa yang besar dalam menyebarkan literatur Islam itu dengan menjadi agen surat kabar Siasat, Republiken, Menara Merdeka, Sumber, dan lain-lain. Sebelum perang kemerdekaan, beliau ikut berperan menyebarkan majalah-majalah Islam seperti: Bintang Islam, Al-Liisan, Pembela Islam, Pancaran Amal, Adil, Panji Islam, Pedoman Masyarakat, dan lain-lain. Begitu besar jasa beliau dalam penyebaran lektur Islam dan sebagai agen yang setia beliau mendapat surat penghargaan dari H. Agus Salim. Setelah membaktikan seluruh miliknya, demi kejayaan Islam, H Mohammad Amal wafat dengan tenang, di Galela pada 29 April 1960 dalam usia 75 tahun.***