Irfani

From WikiMu
Jump to navigation Jump to search

Irfani berasal dari kata irfan (Arab) merupakan bentuk dasar (mashdar) dari kata ‘arafa, yang semakna dengan ma’rifah. Dalam bahasa Arab, istilah al-irfan berbeda dengan kata al-‘ilm. Al-‘ilm menunjukkan pemerolehan obyek pengetahuan (al-ma’lumat) melalui transformasi (naql) ataupun rasionalitas (‘aql), sementara irfan atau ma’rifah berhubungan dengan pengalaman atau pengetahuan langsung dengan objek pengetahuan.

Istilah irfani digunakan untuk membedakan antara pengetahuan yang diperoleh melalui indera (sense/al-hissi) dan akal atau keduanya, dengan pengetahuan yang diperoleh melalui kasyf (ketersingkapan), ilham, ‘iyan, atau isyraq. Irfan dimengerti sebagai ketersingkapan lewat pengalaman intuitif akibat persatuan antara yang mengetahui dengan yang diketahu (ittihad al-‘arif wa al-ma’ruf) yang telah dianggap sebagai pengetahuan tertinggi.

Pendekatan ‘irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada pengalaman batin dan intuisi (dzawq, qalb, wijdan, bashirah). Pendekatan pengetahuan ini menekankan hubungan antara subjek dan objek berdasarkan pengalaman langsung dari seorang Muslim, tidak melalui medium bahasa atau logika rasional, sehingga obyek menyatu dalam diri subjek. Pengetahuan ‘irfani sesungguhnya adalah pengetahuan pencerahan (iluminasi).

Pengetahuan ‘irfani dapat diperoleh melalui tiga tingkatan. Pertama, tahap membersihkan diri dari ketergantungan pada hal-hal yang bersifat duniawi (profan). Ini dapat dilakukan dengan tazkiyyah al-nafs (penyucian jiwa). Kedua, melalui pengalaman-pengalaman eksklusif dalam menghampiri dan merasakn pancaran nur Ilahi. Ketiga, ditandai dengan pengetahuan yang seolah-olah tidak terbatas dan tidak terikat oleh ruang dan waktu.

Meskipun metode ‘irfan sangat subjektif dan batini, namun semua orang dapat merasakan kehadiran-Nya, artinya, setiap orang melakukan dengan tingkat dan kadarnya sendiri-sendiri. Ketika pengalaman masing-masing tersebut diwacanakan maka ia akan menjadi intersubjektif. Sifat intersubjektif tersebut dapat diformulasikan dalam beberapa tahapan. Pertama, tahapan persiapan diri (mujahadah/riyadhah/wirid); Kedua, tahapan pencerahan (iluminasi); dan ketiga, tahapan konstruksi (pemaparan secara simbolik), sehingga memberi peluang bagi orang lain untuk mengaksesnya. Implikasinya adalah akan lahir pengalaman keagamaan yang berbeda antara orang seorang dengan yang lain, berbeda ekspresinya, meskipun substansi dan esensinya tetap sama. Inilah yang memperkaya empati dan simpati terhadap orang lain yang setara secara elegan.

Pendekatan ‘irfani juga menolak atau menghindari mitologi. Kaum ‘irfaniyyin tidak berurusan dengan mitologi, bahkan justru membersihkannya dari persoalan-persoalan agama dan dengan ‘irfani pula mereka lebih mengupayakan menangkap haqiqah yang terletak di balik syari’ah, dan yang bathin (ad-dalalah al-isyarah aw ar-ramziyyah) di balik yang zhahir (ad-dalalah al-lughawiyyah). Dengan memperhatikan dua metode di atas, kita mengetahui bahwa sumber pengetahuan dalam ‘irfani mencakup ilham/intuisi dan teks (yang dicari makna batinnya melalui ta’wil). Kata-kata kunci yang terdapat dalam pendekatan ‘irfani meliputi tanzil-ta’wil, haqiqi-majazi, mumatsilah, dan zhahir-bathin. Hubungan zhahir-bathin terbagi menjadi 3 segi: (1) siyasi mubasyar, yaitu memalingkan makna-makna ibarat pada sebagian ayat dan lafzh kepada pribadi tertentu, (2) ideologi mazhab, yaitu memalingkan makna-makna yang disandarkan pada mazhab atau ideologi tertentu, dan (3) metafisika, yakni memalingkan makna-makna kepada gambaran metafisik yng berkaitan dengan al-ilah al-muta’aliyah, aql kully, dan nafs al-kulliyah.

Pendekatan ‘irfani banyak dimanfaatkan dalam ta’wil. Ta’wil ‘irfani terhadap Al-Qur’an bukan merupakan istinbath, bukan ilham, dan bukan pula kasyf. Akan tetapi ia merupakan upaya mendekati lafzh-lafzh Al-Qur’an lewat pemikiran yang berasal dari dan berkaitan dengan warisan ‘irfani yang sudah ada sebelum Islam, dengan tujuan untuk menangkap makna batinnya.Meski pengetahuan ‘irfani bersifat subjektif, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri. Maka validitas kebenarannya bersifat intersubjektif, dan peran akal bersifat partisipatif.

Meskipun metode ‘irfani sangat subjektif dan batini, namun semua orang dapat merasakan kehadiran-Nya, artinya setiap orang melakukan dengan tingkat dan kadarnya sendiri-sendiri. Ketika pengalaman masing-masing tersebut diwacanakan maka ia akan menjadi intersubjektif. Sifat intersubjektif tersebut dapat diformulasikan dalam tahap-tahap sebagai berikut: Pertama, tahapan persiapan diri (mujahadah/riyadhah/wirid) untuk memperoleh pengetahuan melalui jalan hidup tertentu yang harus diikuti untuk sampai kepada kesiapan menerima “pengalaman”; Kedua, tahap pencerahan (iluminasi); dan ketiga, tahap konstruksi (pemaparan secara simbolik). Tahap terakhir ini merupakan upaya pemaparan secara simbolik di mana perlu dalam bentuk uraian, tulisan, dan struktur yang dibangun sehingga kebenaran yang diperolehnya dapat diakses oleh orang lain.

Implikasi dari pengetahuan ‘irfani dalam kontkes pemikiran keislaman adalah menghampiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan yang berbeda antara orang seorang dengan yang lain, berbeda ekspresinya, meskipun substansi dan esensinya tetap sama. Inilah yang memperkaya empati dan simpati terhadap orang lain yang setara secara elegan. Termasuk di dalamnya kepekaan terhadap problem-problem kemanusiaan, pengembangan budaya dan peradaban yang disinari oleh pancaran fithrah Ilahiyah. (Im)