Al-Ma'un, Teologi
Al-Ma'un adalah nama salah satu surat yang terdapat dalam Al-Qur'an. Surat Al-Ma'un adalah surat ke 107, terdiri dari tujuh (7) ayat, yang artinya: "Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) bantuan."
Secara etimologi, Al-Ma'un berarti banyak harta, berguna dan bermanfaat, kebaikan dan ketaatan, dan zakat. Kata "Al-Ma'un" berdasarkan tafsir klasik dapat dipahami sebagai hal-hal kecil yang diperlukan orang dalam penggunaan sehari-hari, perbuatan kebaikan berupa pemberian bantuan kepada sesama manusia dalam hal-hal kecil. Dalam maknanya yang lebih luas, kata Al-Ma'un berarti "bantuan" atau "pertolongan" dalam setiap kesulitan. Dalam asbabun nuzul sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Mudzir, surat ini berkenaan dengan orang-orang munafik yang memamerkan shalat kepada orang yang beriman. Mereka melakukan shalat dengan riya' dan meninggalkan apabila tidak ada yang melihatnya, serta menolak memberikan bantuan kepada orang miskin dan anak yatim.
Surat inilah yang disampaikan oleh KH. Ahmad Dahlan secara terus menerus kepada para murid-muridnya, hingga mereka merasa bosan. Mereka pun bertanya mengapa sang guru tidak beranjak mengajarkan surat yang lain. KH. Ahmad Dahlan balik bertanya apakah mereka sudah mengamalkan surat Al-Ma'un itu atau belum. Para murid menjawab, mereka sudah mengamalkan, setidaknya melalui bacaan pada setiap shalat. Inilah kemudian yang dijelaskan oleh KH. Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya bahwa ayat Al-Qur'an tidak cukup hanya di hafalkan namun harus diamalkan, dipraktekkan dan diimplementasikan dalam aksi dan gerakan nyata.
Dalam konteks Muhammadiyah, surat Al-Ma'un memiliki arti yang sangat penting sebab menjadi landasan dasar dan spirit bagi lahirnya gerakan dakwah Muhammadiyah dengan berbagai amal sosialnya berupa rumah sakit, panti asuhan, panti jompo, rumah sakit, lembaga pendidikan dan lainnya.
Teologi Al-Ma'un -dalam payung Teologi Islam- yang digagas dan dikembangkan oleh KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dipandang oleh warga Muhammadiyah dan dinilai oleh sebagian peneliti, seperti Deliar Noer dan Achmad Jainuri, berhasil membawa warga gerakan modern ini gigih dan bersemangat untuk membebaskan mustad'afin dari ketertindasannya. Wujud konkret dari gerakan mereka adalah pendirian beberapa panti asuhan, rumah sakit, dan lembaga pendidikan. Dengan demikian, pada dataran konsep, teologi Mustad'afin sesungguhnya merupakan istilah baru, bukan konsep baru, yang dikembangkan dari sumbernya, yakni teologi al-Ma'un sebagai identitas yang diambil dari spirit Q.S. Al-Ma'un.
Teologi Al-Ma'un memberikan kesadaran kepada umat Islam, terutama warga Muhammadiyah, bahwa ibadah ritual kepada Allah itu tidak ada artinya bila ternyata kita tidak bisa merefleksikan dalam wujud kesadaran kemanusiaan, seperti menolong fakir-miskin dan anak yatim.
Al-Ma'un dalam konstruksi gerakan Muhammadiyah yang melekat dengan kesejarahannya, sebagaimana dikatakan Haedar Nashir, tidak dapat dimaknai lain kecuali sebagai ajaran amal. Islam tidak dibawa melambung ke teologi kalam maupun tafsir yang utopis atau elitis, yang cenderung abstrak dan umum yang selama itu menjadi tradisi perdebatan kaum Muslim. Kalaupun ditarik menjadi teologi dan fikih, maka lebih esensial dan kontekstual menjadi teologi dan fikih amal, yang bersifat membebaskan kaum miskin dan siapa pun yang tergolong mustadh'afin (mereka yang lemah dan dilemahkan).
Kiai Dahlan secara tidak langsung melalui pengajaran Al-Ma'un melakukan kritik dan pembongkaran (dekonstruksi) terhadap cara pandang verbal tentang Islam. Hafal tidak sama dengan paham dan paham berarti harus dibuktikan dengan tindakan amal yang konsisten. Jika merasa hafal dan paham surat Al-Ma'un bukan sekadar di lisan atau pikiran, tetapi praktikkan dengan jalan mengentaskan anak yatim dan orang miskin untuk dirawat sebagaimana mestinya. Islam juga tidak dibiarkan berada dalam doktrin tanpa aplikasi serta indah di lisan dan tulisan tetapi minus tindakan yang mencerahkan.
Pendiri Muhammadiyah sendiri bahkan memiliki pandangan dan etos amal yang luar biasa. Menurut Kiai Dahlan, manusia itu harus sungguh-sungguh dalam bekerja atau berusaha. Mereka yang bersungguh-sungguh saja belum tentu langsung berhasil, apalagi yang tidak bersungguh-sungguh. Manusia, menurut Kiai, juga harus menguasai ilmu-ilmu praktis, di samping ilmu-ilmu teoritis. Dalam tradisi Muhammadiyah di belakang hari berkembang istilah ilmu-amaliah dan amal-ilmiah, yang dalam rujukan mutakhir disebut dengan praksis. Itulah jiwa Al-Ma'un untuk melahirkan praksis sosial sebagai pengejawantahan dari Islam sebagai Din al-'Amal.
Jika Al-Ma'un dapat dikatakan sebagai ajaran amal atau Din Al-Amal, maka hal itu memiliki landasan yang sangat kokoh dalam ajaran Islam yang memang mengutamakan pentingnya amal. Namun, amal Al-Ma'un bukan sekadar amal, tetapi amal yang membebaskan. Yakni, amal yang membebaskan anak yatim dan orang miskin sebagai simbol dari kaum mustadh'afin, yaitu mereka yang lemah dan terlemahkan atau tertindas. Karenanya, melalui Al-Ma'un kuat sekali karakter Islam sebagai "agama pembebasan" (the religion of liberation). (Im)